I
Suatu teori penelitian yang jelas mengenai hukum
kebiasaan (customary law). Karya Llwelyn dan
Hoebel mengenai Cheyenne Way (1941) belum muncul, dan bertahun-tahun kemudian
ketika mengakhiri penelitian lapangan diantara suku bangsa Shona Rhodesia
(1952), barulah buku klasik Hoebel The Law of Primitive Man terbit. Buku
tersebut menguraikan teori “tiga jalan raya”. Dalam etnografi (terutama Afrika)
dan hukum (Belanda Romawi), belajar membaca keputusan-keputusan dan
interpretasi-interpretasi pengadilan Eropa di Afrika Selatan mengenai hukum
asli dan kebiasaan, ini ditemukan dalam karya Schapera Handbook of Tswana Law
and Custom (1938), buku tersebut megenai Afrika. Karya dan tujuan-tujuan dari para pakar Belanda mengenai hukum adat Indonesia,
van Vollenhoven
mengatakan tampaknya
memimpin pengembangan bidang ilmu dengan usaha-usaha mereka untuk menyusun
hukum rakyat Indonesia yang kaya dan beragam dan perwujudan konkretnya
tercermin kesan pribuminya. Pandangan awal van Vollenhoven,
berulang-ulang tentang
kebutuhan “hetoosterche oostersch te zien” (memahami bersifat ketimuran melalui
pandangan ketimuran)
Suatu kombinasi dari pendekatan-pendekatan deskriptif,
ideology (mencari aturan)
dan kasus. Itu semua dilakukan tanpa kesadaran akan teori
metode penelitian. Hak milik dari wanita yang menikah, dengan cara panel di
antara pria-pria yang mengetahui banyak tentang hal itu. Suami adalah umnini
(pemilik) wanita, wanita adalah umnini kambing, karena itu suamilah yang
sebetulnya merupakan umnini dari kambing. Jadi sebenarnya melalui amandla
(kekuasaan, otoritas) suaminyalah maka si istri memiliki kambing. Begitulah
Hukum Zulu yang sebenarnya, bahwa seorang suami adalah pemilik harta
(impahala), seperti seekor kambing yang di dapat istrinya dengan penghasilannya
sendiri, dan suami dapat menjual harta milik itu tanpa persetujuan istrinya.
Secara
metodologis, beberapa waktu telah menempuh jalan sepanjang jalan “deskriptif”
yang kemudian mengarahkan kepada jalan yang ternyata adalah “praktik”, yang
kemudian diikuti oleh garis “ideologi” yang menghasilkan “aturan hukum”. Hukum
Zulu selalu laki-laki yang ingin hidup damai dengan istrinya mengerti bahwa ia
seharusnya selalu mendiskusikan hal-hal semacam itu dengan istrinya, u zau
khuluma nendlu (secara harfiah, seseorang seharusnya bicara kepada pasangannya
di “rumah”). Kasus sengketa dimana masalah tersebut di muka timbul dan
mengalami suatu pengujian dalam “rangka konflik”. Kasus di beberapa lapangan hukum substantive tentang
suku bangsa shone, tidak bemaksud untuk menyajikan corpus juris dari
“aturan” yang terdefinisi secara ketat,
tetapi lebih menyajikan
suatu susunan yang saling berkaitan mengenai “konsep-konsep yang luas dan
prinsip-prinsip petunjuk, yang praktik penerapannya beragam.
Kesullitan menyajikan hukum substantive dari
orang-orang yang belum mengenal tulisan dalam suatu kumpulan (koleksi) aturan
yang dirumuskan secara hati-hati, misalnya adalah yang di ilustrasikan oleh pospil dalam
karyanya
Kapauku Papuans and Their Law yang dapat merangsang pemikiran.
Mengenai persengketaan aktual
dan hasil pemecahannya, untuk melihat apakah aturan yang dinyatakan itu
ditaati atau tidak. Salah satu kesimpulan Pospisil adalah bahwa “bukan
aturan abstrak yang mempengaruhi orang kapauku,
tetapi keputusan aktual dari
pimpinan ... meskipun dalam sebagian besar
keputusan-keputusan orang berasumsi bahwa ia (pemimpin) berlaku sesuai dengan
aturan”. Dengan demikian aturan yang diucapkan tapi tidak didukung oleh
keputusan semacam itu (“aturan mati”), tidak dimasukkan dalam hukum.
Sengketa yang di teliti
dengan metode itu akan menunjukkan bahwa sengketa yang nyata-nyata hidup itu
sering menampakkan masalah yang sangat komplek daripada yang dapat ditemukan
oleh suatu aturan tunggal. Aturan abstrak itu dirumuskan tanpa adanya konflik yang
nyata beserta kejadian-kejadian yang menyertainya,
hasil yang demikian itu
tidak akan dapat diungkapkannya. Artinya adalah,
bahkan ketika perhatian
utama sengketa melibatkan subyek berupa aturan semacam itu,
factor-faktor sekitarnya
(yang tidak terungkap oleh aturan), memainkan peranan dalam proses pengambilan keputusan
dan bisa membawa hasil yang tidak terlalu sesuai dengan aturan.
Aturan-aturan yang abstrak memusatkan perhatian pada kepentingan-kepentingan
atau kegiatan-kegiatan tunggal. Dalam
masyarakat tanpa struktur otoritas yang kuat,
penyelesaian konflik sangat
sering,
lebih merupakn seni mencari
hasil musyawarah yang dapat dilaksanakan,
daripada pemaksaan penerapan
aturan berperilaku yang kurang lebih dinyatakan secara jelas.
Bukan adanya konsep yang jelas dan norma-norma “ideal” sebagai suatu acuan kerangka
hukum masyarakat, tetapi usaha-usaha merumuskan aturan-aturan yang bersifat
individual tanpa menghubungkannya dengan konteks yang lebih luas.
II
Metode kasus yang berpusat
pada bekerjanya hukum (law in action),
”proses penyelesaian
sengketa” atau “penyelesaian konflik” dalam penelitian dan pengkajian
komparatif yang merangsang pembentukan teori (theory stimulating).
Namun sebagian juga tentunya
karena tanggapan yang terorganisir terhadap situasi-situasi tekanan social yang
di sebabkan oleh penyimpangan yang tidak dapat di perkenankan terhadap
norma-norma dan prinsip-prinsip ideal, menawarkan ruang lingkup yang segar bagi pemahaman
yang lebih baik tentang pengaturan yang actual dari perilaku manusia.
Hoebel (1942:966) bahwa “kajian mengenai hukum
dalam masyarakat sederhana, seperti juga common law, harus menarik
generalisasinya dari kekhususan-kekhususan”. Kasus sengketa, menurut Epstein,
merupakan “unit analisis” yang sangat subur dimana “bahan-bahan ang digunakan
tidaklah terutama dipakai sebagai ilustrasi, tetapi sebagai penyediaan data
mentah untuk tujuan analisa. Sejumlah prinsip-prinsip utama dan
gagasan-gagasan, dan cara-cara bagaimana prinsip-prinsip dan gagasan itu
sesungguhnya diterapkan dalam proses hukum dari jenis-jenis masyarakat yang terorganisir
secara berbeda.
Hukum
substantif dan hukum yang
hidup (living law) dari masyarakat-masyarakat
demikian,
maka metode ini tidak boleh tidak membutuhkan sejumlah kasus sengketa yang
cukup memadai. Hoebel
sendiri mengatakan bahwa “sangat jarang etnolog yang dapat tinggal cukup lama
untuk dapat menggali kasus-kasus yang
cukup banyak untuk bias memberikan gambaran hukum dengan tepat”.
Dalam lapangan hukum
perkawinan misalnya, dia berhasil menggali kasus-kasus sengketa perkawinan
dan perkara-perkara yang muncul dari kewajiban-kewajiban (seperti pembayaran
mas kawin) dalam kontrak perkawinan. Meskipun system kekerabatan disitu melarang,
setidak-tidaknya, perkawinan di antara semua orang se-keturunan,
tidak peduli seberapa
jauhnya.
Lapangan lain ialah yang berhubungan dengan kontrak (tidak termasuk pertunangan
dan perkawinan), dan ketiga, mungkin lebih mengejutkan, adalah hak-hak atas
tanah.
Kebingungan mengenai prinsip-prinsip yang di akui yang
mengatur pengendalian, penguasaan dan penguasaan tanah,
dan menentukan siapakah yang
harus mengalah kepada orang yang mana, bila ada tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan
dalam keadaan yang diliputi oleh aneka pengaruh berdasarkan praktik-praktik normal (tanpa
sengketa) dan di luar sengketa, yang diamati dengan diskusi-diskusi sengketa-sengketa
hipotetik. Kasus-kasus sengketa tidak hanya menghadirkan
sumber fakta-fakta nyata yang kaya dan padat. Ketaatan kepada hukum yang
sukarela merupakan bentuk pemeliharaan hukum yang paling biasa. Peristiwa
“penyiksaan” dalam transaksi dengan tujuan menyediakan bukti yang dapat
diandalkan bila kelak di kemudian hari terjadi sengketa, yang bertujuan
menghilangkan ketidakpastian hukum dan mencegah, sejauh mungkin, sengketa di
kelak kemudian hari.
Kasus-kasus itu merupakan satuan-satuan
analisa yang tidak ternilai, yang berdasarkan sifat-sifatnya sendiri,
mengungkapkan prinsip-prinsip dan keteraturan-keteraturan yang relevan, dan
juga sejauh mana terdapat toleransi terhadap penyimpangan dari perilaku yang
sah menurut hukum. Ini merupakan pokok-pokok kunci dalam perkembangan
hubungan-hubungan sosial hukum. Kasus non sengketa juga menghadirkan
kekhususan-kekhususan, yang nantinya menghasilkan generalisasi-generalisasi.
Metode kasus yang diperluas (extended case method), metode ini memudahkan
pelaksanaan yang sulit dari apa yang kita kenal. Metode ini bahkan menuntut pengorbanan
waktu yang lebih banyak dari peneliti lapangan dan kesempatan-kesempatan
penyelidikan lapangan hukum yang lebih luas.
III
Bidang
cakupannya yang pada umumnya diterima (yaitu, penyelesaian yang sudah melembaga
atau penyelesaian konflik) terlalu terbatas. Beberapa alasan bagi keyakinan:
wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip pedoman normatif dan nilai-nilai
yang melingkupi seluruh jajaran lalu-lintas sosial-hukum, cenderung dikorbankan
demi suatu keasyikan. Namun yang tercakup olehnya hanya merupakan suatu gejala
minoritas. Sesungguhnya penkana yang berlebihan terhadap kasus sengketa, bahkan
bisa menghasilkan suatu penyajian yang timpang tentang prinsip-prinsip hukum
yang diterima secara luas dan umum diamati dalam bidang-bidang yang termasuk
bebas sengketa.
Prosedur orang Hera
disitu cukuplah untuk
memberitahu hasil penanganan kasus-kasusnya,
dan argument-argumen utama
yang dikemukakan selama proses berlangsung,
yang muncul disini ialah
pertanyaan mengenai dua hak istimewa. Hak yang pertama berasal dari kepemilikan sebelumnya
dan penggunaanya, yang kedua berdasarkan pada kebiasaan kupeta gombo,
jelaslah bahwa pertimbangan
social lebih besar pengaruhnya pada putusan pengadilan tersebut dibandingkan
dengan prinsip-prinsip hukum. Menurut teori mengenai hukum yang telah teruji
melalui proses penanganan sengketa, seharusnya memberi nilai yang tinggi bagi
otoritas hukumnya. Pengadilan untuk menetapkan keadilan yang
sesungguh-sungguhnya kepada 2 atas kepemilikan tanah yang di perebutkan,
keduanya harus mendapatkan
hak istimewa tanpa memandang status keduanya,
itu menurut penelitian kasus
sengketa yang ada pada penduduk Hera.
IV
Penelitian
lapangan dalam situasi dimana norma-norma, pranata-pranata dan proses hukum
rakyat masih merupakan penentu utama bagi perilaku sosial dan tata tertib hukum
dalam komunitas-komunitas yang secara etnik kurang lebih homogen. Hukum
kebiasaan sendiri sering beragam menurut suku bangsa dan tempat), dinggap oleh
pemerintahan kolonial sebagaimana juga oleh para antropolog hukum. Tujuan
tuntitan-tuntutan hukum untuk memecahkan masalah-masalah kemajemukan hukum yang
meliputi sistem pengadilan, yang juga dimaksudkan supaya mengarah kepada
unifikasi dan sentralisasi yang lebih besar. Dewan-dewan yang justru merupakan
sumber-sumber dari hukum kasuitik yang pada masa lalu sangat diandalkan sebagai
data yang otoritatif oleh para peneliti lapangan. Ini berarti hukum bisa menjadi
suatu obyek kajian yang lebih sukar dipahami daripada sebelumnya.
Pada negara-negara baru Afrika dan tempat lain,
terasa suatu kebutuhan untuk
membangun sistem-sistem
“hukum” nasional baru. Kalau sekiranya untuk alasan-alasan
stabilitas politik dan ekonomi saja, maka pembangunan yang ingin mereka capai
adalah “modernisasi”. Schiller mengatakan, “the fusion of indigenous and
non-indigenous law ... is the guiding policy, expressed or unexpresssed, for
most of the emerging states of Africa” (penyatuan hukum pribumi dan hukum non
pribumi).
Pembaruan hukum manapun sangat tergantung pada di
terimanya hukum itu di tingkat rakyat jelata,
tempat di mana volume utama
lalu-lintas hukum berlangsung. Namun justru pada tingkat rakyat jelata ini jugalah,
perbedaan-perbedaan antar
wilayah dan antar
lokalitas paling menonjol.
Bila perubahan-perubahan di
paksakan dari atas untuk mencapai keseragaman yang lebih besar,
justru kemungkinannya akan
cenderung mengganggu jalinan-jalinan social,
dan malah merintangi dan
bukan memacu usaha ekonomik dan pembangunan oleh rakyat sendiri.
Namun bagaimanapun
diperbaruinya dan lebih diseragamkannya hukum yang diterapkan oleh petugas
hukum yang baru yang lambat-laun dilatih secara lebih profesional di negara-negara baru tersebut terdapat suatu bahaya yang
nyata bahwa jurang di antara hukum positif dan hukum yang hidup akan justru
lebih menjadi melebur lagi.
Di Afrika Timur sering terjadi berturut-turut hukum dan
pengadilan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berperkara seperti juga oleh
para penegak hukum, untuk tujuan lain selain keadilan.
Masalah keterasingan ini di perburuk oleh kenyataan,
bahwa,
dalam banyak kasus,
penegak hukum lokal
tradisional (kepala kampong, kepala suku, sesepuh keluarga atau desa) tidak lagi diakui secara resmi
sebagai bagian dari struktur pengadilan yang ada
(dalam sebagian besar
komunitas urban yang relative akhir-akhir ini saja baru dikembangkan,
tentu saja,peran
tersebut belum pernah
mengukur secara efektif).
Bahwa pada tingkat rakyat jelata srana penyelesaian
sengketa terus beroperasi menurut norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang
diterima setempat. Tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan dan
anti rugi yang dicari. Sementara disini terletak suatu lapangan penelitian yang sekali
mengenai hal-hal yang beorientasi pada masalah,
yang hampir belum tergali,
dan penelitian yang
merangsang teori, studinya mestinya meliputi,
di satu pihak,
suatu telah yang cermat
mengenai peranan pengadilan-pengadilan pemerintah dan perangkat-perangkat hukum
lainnya, dan dampak actual dari kegiatan mereka dalam semua
lapangan penerapan hukum, dan juga suatu penyelidikan yang mendalam mengenai
cara-cara lain yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa (tradisional atau
non-tradisional), dan jenis-jenis masalah hukum (masalah social) yang
cenderung diselesaikan dengan cara yang menghindari jalur-jalur pengkoreksian
yang resmi.
Khususnya di wilayah urban dan
dalam situasi social dan
ekonomi yang non-tradisional, seharusnya ada suatu penelaahan pelengkap untuk
menemukan keteraturan-keteraturan baru dan norma-norma yang sedang berkembang
berkenaan dengan perilaku yang diterima secara berakyat dan yang dimaksudkan
untuk menghindari sengketa. Hilda dan Leo Kuper,
yang mengadakan pembedaan di
antara pendekatan-pendekatan unifikasi dari hukum-hukum yang berbeda dengan
memperhatikan penekanan pada “law shaping society,
or society shaping law” (hukum membentuk masyarakat,
atau masyarakat yang membentuk
hukum).
Karena kesatuan masyarakat
sering dinyatakan melalui suatu system hukum yang terunifikasi,
maka kesatuan hukum menjadi
diaosiasikan dengan kesatuan masyarakat. Salah satu hasil dari suatu unifikasi hukum yang
tergesa-gesa mungkin adalah merangsang tumbuhnya beragam kebiasaan-kebiasaan
yang menyimpang.
Pada umumnya kasus-kasus itu terbagi ke dalam
dua kategori: pertama, kasus yang ditangani
oleh pengadilan-pengadilan negeri, dan yang kedua adalah kasus-kasus yang jalan
keluarnya dicari melalui saluran lain yaitu keputusan peradilan rakyat.salah
satu inti masalah yang menghadang mereka adalah bagaiman mengembangkan suatu
system hukum yang efektif. Untuk mencapai ini paling tidak seluruh tubuh
hukum substantive dan procedural yang hidup (hukum kebiasaan, yang di terima dan
yang baru diciptakan) dan cara-cara untuk memajukan “prinsip-prinsip
pertumbuhannya” yang hakiki (Cardozo) menuju kematangan yang lebih besar dan
integritas social, perlu dipelajari secara kritis dan sistematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar