Keadilan yang
kita cari adalah suatu produk yang dihasilkan atau setidak-tidaknya
didistribusikan secara eksklusif oleh Negara, pandangan yang untuk mudahnya
diberi label “legal centralism” (sentralisme hokum) bukanlah pendapat yang
tidak umum di kalangan orang-orang berprofesi hokum.
1. Perspektif
Sentrifugal: Tawar menawar dan Pengaturan dalam “Bayang-bayang Hukum”
Kebanyakan
dari sengketa yang menurut aturan-aturan kini berlaku, dapat diajukan ke lembaga
peradilan, sebenarnya tidak pernah tercatat pada agenda lembaga-lembaga
peradilan mana pun. Ini berlaku untuk kasus-kasus criminal maupun kasus-kasus
sipil. Banyak kasus demikian diselesaikan dengan cara menarik diri, membiarkan
saja (“lumping it”), mengelak (“avoidance”), keluar saja (“exit”), atau main
hakim sendiri (“self-help”), yaitu tindakan dari satu pihak. Lembaga-lembaga
peradilan merupakan tempat berlangsungnya perubahan-perubahan status, negosiasi
untuk mencapai perdamaian, tempat mediasi, arbitrasi dan “perang” (ancaman,
menggagah-gagahi serta melumpuhkan lawan) dan juga tempat berlangsungnya
pemutusan perkara melalui persidangan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
proses-proses tersebut terletak pada tujuan-tujuan, sumber daya dan strategi
yang ditempuh oleh pihak-pihak yang ada (untuk maksud analisa ini juga mencakup
personil lembaga peradilan). Lembaga peradilan menyelesaikan sebagian kecil
saja dari semua sengketa yang dibawakan padanya. Dan kasus-kasus tersebut
merupakan bagian kecil saja dari semua sengketa yang seyogianya dapat diajukan
ke pengadilan.
Norma-norma
formal yaitu aturan-aturan yang dibentuk dalam lingkungan yang sempurna dari
pembuat undang-undang atau lembaga peradilan mengandung arti yang tunggal
ketika diterapkan pada berbagai keadaan. Norma-norma otoritatif mempunyai makna
ganda: orang-orang bisa saja member makna ganda tersebut dalam setiap system
aturan umum yang kompleks; keseragaman makna yang mampu melintasi waktu dan
ruang merupakan suatu raihan yang harus dibayar dengan mengorbankan hal-hal
yang penting. Kelihatannya sikap semacam ini hamper universal diterima di
masyarakat-masyarakat yang telah menggunakan bahasa tertulis secara teratur
(penekanan dilakukan dalam teks asli).
Sumbangan
lembaga peradilan terhadap penyelesaian sengketa tidak bisa dipersamakan dengan
diselesaikannya sengketa secara tuntas melalui proses peradilan. Wewenang
tawar-menawar yang diberikan lembaga peradilan kepada pihak-pihak yang bertikai
tidak hanya meliputi hak substansif berdasarkan aturan hokum, tapi juga
aturan-aturan yang memungkinkan seseorang mempertahankan hak substansif
tersebut. Wewenang-wewenang tawar-menawar yang diberikan oleh forum:
keterlambatan, biaya serta ketidakpastian tentang pemecahan yang dapat
menguntungkan, juga merupakan pertimbangan-pertimbangan yang dimanfaatkan dalam
tawar-menawar oleh pihak yang bersangkutan. Makna dari butir-butir pertimbnagn
tersebut tentunya tidak tetap tetapi tergantung pada cirri-ciri pihak-pihak
yang bersengketa: prioritas-prioritas mereka.
Tawar-menawar
antara kedua pihak itu sebgai hal yang berlangsung “dalam baying-bayang hokum”.
Tetapi ini bukan satu-satunya “penataan pribadi’ yang berlangsung dalam bayang-bayang
yang luas dari hokum itu. Otorisasi demikian bisa saja berbentuk
keputusan-keputusan yang eksplisit tentang aktivitas pengaturan. Pengaruh
lembaga peradilan dan forum sejenis lainnya kepada perilaku bersengketa
tidaklah dapat disamakan dengan disposisi mengenai kasus-kasus yang diajukan
kepadanya. Berbagai jenis “efek umum” terjadi sebagai akibat komunikasi
informasi oleh dan tentang forum dan perilakunya serta respons orang lain terhadap
informasi seperti itu. Ada petunjuk-petunjuk yang mengesankan, terbuktinya
kenyataan bahwa paling tidak segmen-segmen tertentu dari penduduk mengalami
pengaruh demikian. Hukum itu menaruh efek bagi warga masyarakat terutama
melalui komunikasi symbol-simbol dengan menyediakan ancaman, janji, model,
persuasi, legitimasi, stigma dan sebagainya. Para khalayak dan pendengar
memiliki kemampuan yang berada dalam penerimaan dan evaluasi pesan-pesan yang
diterima dari lembaga-lembaga peradilan. Ada perbedaan pada mereka, misalnya
mengenai kemampuannya untuk membuat perkiraan yang canggih tentang apa
sebenarnya yang dilakukan oleh suatu lembaga peradilan itu yaitu kiat
tawar-menawar apa saja yang dalam kenyataan ada. Bila peradilan memeancarkan
pengaruh melalui komunikasi, maka hasil-hasilnya sampai derajat yang kuat akan
dipengaruhi oleh kemampuan memproses informasi dari para penerima pesan dan
oleh kesenjangan-kesenjangan dalam kesimpulan mereka. Proses penyelesaian
sengketa tradisional dengan pola sengketa masyarakat modern di Afrika,
mengemukakan bahwa dalam cara modern, jumlah lembaga peradilan yang dilibatkan
lebih kecil, dan yuridiksinya lebih luas, proporsi pelanggaran yang disidangkan
lebih kecil dan hukuman yang dipaksakan lebih keras, serta terjadi pergeseran
dari andalan pada penangkalan khusus menjadi penangkalan umum. Peranan dari
efek-efek umum dari tindakan lembaga peradilan dibandingkan dengan efek-efek
langsung pada pihak-pihak yang bersengketa di Amerika Serikat, yang beroperasi
dengan perangkat peradilan yang cukup kecil, tapi dengan jumlah pengacara yang
banyak bisa saja relative lebih besar.
2. Hukum
dalam Bayang-bayang Pengaturan Pribumi
Sentralisme
hokum yaitu sebuah gambaran dimana alat-alat perlenkapan Negara menempati titik
sentral dari kehidupan hokum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis
terhadap piƱata norma lain yang lebih rendah kedudukannya. “Indegenous
ordering” dan “indigenous law” (pengaturan pribumi dan hokum pribumi) yang
mengacu pada penataan social asal penduduk setempat, yaitu dikenal dan
diterapkan oleh para partisipan dalam aktivitas sehari-hari yang menjadi obyek
pengaturan. Dengan hokum pribumi, tidaklah mengacu pada sesuatu kesadran hokum
rakyat yang tersebar, tetapi mengacu pada pola-pola penataan social yang
terdapat dalam aneka latar kelembagaan. Paham sentralisme hokum (legal
centralism) telah merintangi kesadran kita terhadp “hokum pribumi”.
Jadi,
masyarakat-masyarakat mencakup sejumlah besar lingkungan atau sector yang untuk
sebgian mengatur ketertibannya sendiri. Penelitian social mengenai hokum telah
dicirikan oleh penemuan kembali yang berulang-ulang dari belahan lain dari
dunia hokum. Hal itu berulang kali menghasilkan penemuan kembali bahwa hokum
dalam masyarakat modern lebih bersifat plural daripada monolitik, bahwa hokum
bersifat pribadi maupun public, dan bahwa system hokum nasional public dan
resmi lebih merupakan lokus regulasi yang bersifat sekunder daripada primer.
Hubungan antara system hokum yang besar dengan pengaturan normative yang lebih
rendah tingkatnya dalam suatu masyarakat, dikaburkan oleh penggambaran system
yang besar sebagai hal yang mencakup semuanya, sama bentuknya dimana pun,
ekslusif dan melakukan pengawasan. Pandangan para ahli hokum sentral yang
meremehkan penataan-penataan yang berkedududkan lebih rendah itu, berpadanan
dengan gambaran bahwa system-sistem itu telah menjadi lemah karena pertumbuhan
Negara serta atau perkembangn kapitalisme, sehingga yang berbekas hanya
sisa-sisanya saja, atau perananya terbatas pada hal-hal yang terbelakang.
Tetapi
pengetahuan pribumi atau asli dengan pengaturan resmi bisa saja tidak
bersangkut paut secara timbal balik: masyarakat modern mengembangkan kedua
jenis aturan itu. Kelangsungan hidup dan perkembangan hokum pribadi atau
“indigenous law” dewasa ini di Amerika Serikat dinyatakan oleh kepustakaan yang
meragakan kelimpahan yang subur dan keanekaan dari “semi autonomous social
fields” yang terdapat dalam suatu masyarakat yang sama. Terdapat variasi dalam
sifat kemandirian pengaturan yang sadar diri, variasi dalam derajat kesesuaian
dengan hokum resmi, dan variasi dalam derajat pengandalan pada dukungan dari
lembga-lembaga formal. Dalam lingkungan yang hubungannya demikian lebih tepat
digambarkan sebagai “hokum dalam bayang-bayang penataan pribumi”. Tetapi
kegagalan dari banyak forum alternative untuk menarik kasus-kasus menunjukkan
bahwa dalam penyusunan forum penyelesaian sengketa, yang dikaitkan dengan
kebutuhan-kebutuhan komunitas, mungkin saja tersangkut masalah-masalah yang
berat.
3. Menjajaki
Bayang-bayang
Lalu lintas
hokum yang paling bermakna adalah mengalirnya pesan-pesan hokum secara
sentrifugal lebih dari mengalirnya kasus-kasus secara sentripetal ke
forum-forum resmi. Pesan tersebut berpancar ke ruang-ruang yang tidak kosong
dari pengaturan normative; sebaliknya, panorama social ditutupi oleh sejumlah
lapisan dan pusat-pusat hokum pribumi. Pemikiran kita yang professional membuat
kita segan untuk mementingkan hokum pribumi. Terdapat banyak teori yang
preskriptif tentang cara yang harus diikuti oleh system hokum Negara dalam
memperlakukan hokum agama.
Penyusuan Uniform Commercial Code (Undang-Undang
Dagang yang Seragam) merupakan suatu upaya yang direncanakan dengan sadar untuk
mengadakan sintesa dari hokum formal dan kebiasaan dagang; hokum formal akan
menginkorporasikan praktik dagang yang terbaik dan pada waktu yang sama akan
berfungsi sebagai model untuk penghalusan dan pengembangan praktik-praktik
tersebut. Jadi undang-undang itu akan berfungsi sebagai wahana untuk komunitas
bisnis untuk mengembangkan hokum di kalangan mereka sendiri, secara dialogis
dengan lembaga-lembaga peradilan, yang dengan begitu tidaklah beroperasi sebgai
pemberi interpretasi terhadap hokum yang diperintahkan tetapi sebagai pihak
yang memperjelas dan yang member kriitik pada kebiasaan-kebiasaan di bidang
perdagangan. Belum pernah diadakan evaluasi terhadap upaya-upaya undang-undang
tersebut untuk melembagakan hubungan sinergistik itu. Jadi kita dapat
menggambarkan suatu penelitian “dampak” yang dalam berbagai hal berbeda sifatnya
dari yang dilakukan pada masa lalu. Keputusan lembaga peradilan bukanlah
doktrin yang tercampur dengan penyimpangan-penyimpangan tetapi merupakan
perangkat pesan-pesan yang dapat dipakai sebagai sumber-sumber dalam membuat
tuntutan-tuntutan, negosiasi serta mengadakan pengaturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar