there is a secret behind the story

there is a secret behind the story

Rabu, 19 Desember 2012

KASUS-KASUS SENGKETA DAN KASUS-KASUS DI LUAR SENGKETA DALAM PENGKAJIAN MENGENAI HUKUM KEBIASAAN DAN PEMBENTUKAN HUKUM


I
Suatu teori penelitian yang jelas mengenai hukum kebiasaan (customary law). Karya Llwelyn dan Hoebel mengenai Cheyenne Way (1941) belum muncul, dan bertahun-tahun kemudian ketika mengakhiri penelitian lapangan diantara suku bangsa Shona Rhodesia (1952), barulah buku klasik Hoebel The Law of Primitive Man terbit. Buku tersebut menguraikan teori “tiga jalan raya”. Dalam etnografi (terutama Afrika) dan hukum (Belanda Romawi), belajar membaca keputusan-keputusan dan interpretasi-interpretasi pengadilan Eropa di Afrika Selatan mengenai hukum asli dan kebiasaan, ini ditemukan dalam karya Schapera Handbook of Tswana Law and Custom (1938), buku tersebut megenai Afrika. Karya dan tujuan-tujuan dari para pakar Belanda mengenai hukum adat Indonesia, van Vollenhoven mengatakan tampaknya memimpin pengembangan bidang ilmu dengan usaha-usaha mereka untuk menyusun hukum rakyat Indonesia yang kaya dan beragam dan perwujudan konkretnya tercermin kesan pribuminya. Pandangan awal van Vollenhoven, berulang-ulang tentang kebutuhan “hetoosterche oostersch te zien” (memahami bersifat ketimuran melalui pandangan ketimuran)
Suatu kombinasi dari pendekatan-pendekatan deskriptif, ideology (mencari aturan) dan kasus. Itu semua dilakukan tanpa kesadaran akan teori metode penelitian. Hak milik dari wanita yang menikah, dengan cara panel di antara pria-pria yang mengetahui banyak tentang hal itu. Suami adalah umnini (pemilik) wanita, wanita adalah umnini kambing, karena itu suamilah yang sebetulnya merupakan umnini dari kambing. Jadi sebenarnya melalui amandla (kekuasaan, otoritas) suaminyalah maka si istri memiliki kambing. Begitulah Hukum Zulu yang sebenarnya, bahwa seorang suami adalah pemilik harta (impahala), seperti seekor kambing yang di dapat istrinya dengan penghasilannya sendiri, dan suami dapat menjual harta milik itu tanpa persetujuan istrinya.
Secara metodologis, beberapa waktu telah menempuh jalan sepanjang jalan “deskriptif” yang kemudian mengarahkan kepada jalan yang ternyata adalah “praktik”, yang kemudian diikuti oleh garis “ideologi” yang menghasilkan “aturan hukum”. Hukum Zulu selalu laki-laki yang ingin hidup damai dengan istrinya mengerti bahwa ia seharusnya selalu mendiskusikan hal-hal semacam itu dengan istrinya, u zau khuluma nendlu (secara harfiah, seseorang seharusnya bicara kepada pasangannya di “rumah”). Kasus sengketa dimana masalah tersebut di muka timbul dan mengalami suatu pengujian dalam “rangka konflik”. Kasus di beberapa lapangan hukum substantive tentang suku bangsa shone, tidak bemaksud untuk menyajikan corpus juris dari “aturan” yang terdefinisi secara ketat, tetapi lebih menyajikan suatu susunan yang saling berkaitan mengenai “konsep-konsep yang luas dan prinsip-prinsip petunjuk, yang praktik penerapannya beragam.
Kesullitan menyajikan hukum substantive dari orang-orang yang belum mengenal tulisan dalam suatu kumpulan (koleksi) aturan yang dirumuskan secara hati-hati, misalnya adalah yang di ilustrasikan oleh pospil dalam karyanya Kapauku Papuans and Their Law yang dapat merangsang pemikiran. Mengenai persengketaan aktual dan hasil pemecahannya, untuk melihat apakah aturan yang dinyatakan itu ditaati atau tidak. Salah satu kesimpulan Pospisil adalah bahwa “bukan aturan abstrak yang mempengaruhi orang kapauku, tetapi keputusan aktual dari pimpinan ... meskipun dalam sebagian besar keputusan-keputusan orang berasumsi bahwa ia (pemimpin) berlaku sesuai dengan aturan”. Dengan demikian aturan yang diucapkan tapi tidak didukung oleh keputusan semacam itu (“aturan mati”), tidak dimasukkan dalam hukum.
Sengketa yang di teliti dengan metode itu akan menunjukkan bahwa sengketa yang nyata-nyata hidup itu sering menampakkan masalah yang sangat komplek daripada yang dapat ditemukan oleh suatu aturan tunggal. Aturan abstrak itu dirumuskan tanpa adanya konflik yang nyata beserta kejadian-kejadian yang menyertainya, hasil yang demikian itu tidak akan dapat diungkapkannya. Artinya adalah, bahkan ketika perhatian utama sengketa melibatkan subyek berupa aturan semacam itu, factor-faktor sekitarnya (yang tidak terungkap oleh aturan), memainkan peranan dalam proses pengambilan keputusan dan bisa membawa hasil yang tidak terlalu sesuai dengan aturan. Aturan-aturan yang abstrak memusatkan perhatian pada kepentingan-kepentingan atau kegiatan-kegiatan tunggal. Dalam masyarakat tanpa struktur otoritas yang kuat, penyelesaian konflik sangat sering, lebih merupakn seni mencari hasil musyawarah yang dapat dilaksanakan, daripada pemaksaan penerapan aturan berperilaku yang kurang lebih dinyatakan secara jelas. Bukan adanya konsep yang jelas dan norma-norma “ideal” sebagai suatu acuan kerangka hukum masyarakat, tetapi usaha-usaha merumuskan aturan-aturan yang bersifat individual tanpa menghubungkannya dengan konteks yang lebih luas.
II
Metode kasus yang berpusat pada bekerjanya hukum (law in action), ”proses penyelesaian sengketa” atau “penyelesaian konflik” dalam penelitian dan pengkajian komparatif yang merangsang pembentukan teori (theory stimulating). Namun sebagian juga tentunya karena tanggapan yang terorganisir terhadap situasi-situasi tekanan social yang di sebabkan oleh penyimpangan yang tidak dapat di perkenankan terhadap norma-norma dan prinsip-prinsip ideal, menawarkan ruang lingkup yang segar bagi pemahaman yang lebih baik tentang pengaturan yang actual dari perilaku manusia. Hoebel (1942:966) bahwa “kajian mengenai hukum dalam masyarakat sederhana, seperti juga common law, harus menarik generalisasinya dari kekhususan-kekhususan”. Kasus sengketa, menurut Epstein, merupakan “unit analisis” yang sangat subur dimana “bahan-bahan ang digunakan tidaklah terutama dipakai sebagai ilustrasi, tetapi sebagai penyediaan data mentah untuk tujuan analisa. Sejumlah prinsip-prinsip utama dan gagasan-gagasan, dan cara-cara bagaimana prinsip-prinsip dan gagasan itu sesungguhnya diterapkan dalam proses hukum dari jenis-jenis masyarakat yang terorganisir secara berbeda.
Hukum substantif dan hukum yang hidup (living law) dari masyarakat-masyarakat demikian, maka metode ini tidak boleh tidak membutuhkan sejumlah kasus sengketa yang cukup memadai. Hoebel sendiri mengatakan bahwa sangat jarang etnolog yang dapat tinggal cukup lama untuk dapat menggali kasus-kasus  yang cukup banyak untuk bias memberikan gambaran hukum dengan tepat”. Dalam lapangan hukum perkawinan misalnya, dia berhasil menggali kasus-kasus sengketa perkawinan dan perkara-perkara yang muncul dari kewajiban-kewajiban (seperti pembayaran mas kawin) dalam kontrak perkawinan. Meskipun system kekerabatan disitu melarang, setidak-tidaknya, perkawinan di antara semua orang se-keturunan, tidak peduli seberapa jauhnya. Lapangan lain ialah yang berhubungan dengan kontrak (tidak termasuk pertunangan dan perkawinan), dan ketiga, mungkin lebih mengejutkan, adalah hak-hak atas tanah.
         Kebingungan mengenai prinsip-prinsip yang di akui yang mengatur pengendalian, penguasaan dan penguasaan tanah, dan menentukan siapakah yang harus mengalah kepada orang yang mana, bila ada tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dalam keadaan yang diliputi oleh aneka pengaruh berdasarkan praktik-praktik normal (tanpa sengketa) dan di luar sengketa, yang diamati dengan diskusi-diskusi sengketa-sengketa hipotetik. Kasus-kasus sengketa tidak hanya menghadirkan sumber fakta-fakta nyata yang kaya dan padat. Ketaatan kepada hukum yang sukarela merupakan bentuk pemeliharaan hukum yang paling biasa. Peristiwa “penyiksaan” dalam transaksi dengan tujuan menyediakan bukti yang dapat diandalkan bila kelak di kemudian hari terjadi sengketa, yang bertujuan menghilangkan ketidakpastian hukum dan mencegah, sejauh mungkin, sengketa di kelak kemudian hari.
         Kasus-kasus itu merupakan satuan-satuan analisa yang tidak ternilai, yang berdasarkan sifat-sifatnya sendiri, mengungkapkan prinsip-prinsip dan keteraturan-keteraturan yang relevan, dan juga sejauh mana terdapat toleransi terhadap penyimpangan dari perilaku yang sah menurut hukum. Ini merupakan pokok-pokok kunci dalam perkembangan hubungan-hubungan sosial hukum. Kasus non sengketa juga menghadirkan kekhususan-kekhususan, yang nantinya menghasilkan generalisasi-generalisasi. Metode kasus yang diperluas (extended case method), metode ini memudahkan pelaksanaan yang sulit dari apa yang kita kenal. Metode ini bahkan menuntut pengorbanan waktu yang lebih banyak dari peneliti lapangan dan kesempatan-kesempatan penyelidikan lapangan hukum yang lebih luas.
III
         Bidang cakupannya yang pada umumnya diterima (yaitu, penyelesaian yang sudah melembaga atau penyelesaian konflik) terlalu terbatas. Beberapa alasan bagi keyakinan: wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip pedoman normatif dan nilai-nilai yang melingkupi seluruh jajaran lalu-lintas sosial-hukum, cenderung dikorbankan demi suatu keasyikan. Namun yang tercakup olehnya hanya merupakan suatu gejala minoritas. Sesungguhnya penkana yang berlebihan terhadap kasus sengketa, bahkan bisa menghasilkan suatu penyajian yang timpang tentang prinsip-prinsip hukum yang diterima secara luas dan umum diamati dalam bidang-bidang yang termasuk bebas sengketa.
         Prosedur orang Hera disitu cukuplah untuk memberitahu hasil penanganan kasus-kasusnya, dan argument-argumen utama yang dikemukakan selama proses berlangsung, yang muncul disini ialah pertanyaan mengenai dua hak istimewa. Hak yang pertama berasal dari kepemilikan sebelumnya dan penggunaanya, yang kedua berdasarkan pada kebiasaan kupeta gombo, jelaslah bahwa pertimbangan social lebih besar pengaruhnya pada putusan pengadilan tersebut dibandingkan dengan prinsip-prinsip hukum. Menurut teori mengenai hukum yang telah teruji melalui proses penanganan sengketa, seharusnya memberi nilai yang tinggi bagi otoritas hukumnya. Pengadilan untuk menetapkan keadilan yang sesungguh-sungguhnya kepada 2 atas kepemilikan tanah yang di perebutkan, keduanya harus mendapatkan hak istimewa tanpa memandang status keduanya, itu menurut penelitian kasus sengketa yang ada pada penduduk Hera.
IV
         Penelitian lapangan dalam situasi dimana norma-norma, pranata-pranata dan proses hukum rakyat masih merupakan penentu utama bagi perilaku sosial dan tata tertib hukum dalam komunitas-komunitas yang secara etnik kurang lebih homogen. Hukum kebiasaan sendiri sering beragam menurut suku bangsa dan tempat), dinggap oleh pemerintahan kolonial sebagaimana juga oleh para antropolog hukum. Tujuan tuntitan-tuntutan hukum untuk memecahkan masalah-masalah kemajemukan hukum yang meliputi sistem pengadilan, yang juga dimaksudkan supaya mengarah kepada unifikasi dan sentralisasi yang lebih besar. Dewan-dewan yang justru merupakan sumber-sumber dari hukum kasuitik yang pada masa lalu sangat diandalkan sebagai data yang otoritatif oleh para peneliti lapangan. Ini berarti hukum bisa menjadi suatu obyek kajian yang lebih sukar dipahami daripada sebelumnya.
         Pada negara-negara baru Afrika dan tempat lain, terasa suatu kebutuhan untuk membangun sistem-sistem “hukum” nasional baru. Kalau sekiranya untuk alasan-alasan stabilitas politik dan ekonomi saja, maka pembangunan yang ingin mereka capai adalah “modernisasi”. Schiller mengatakan, “the fusion of indigenous and non-indigenous law ... is the guiding policy, expressed or unexpresssed, for most of the emerging states of Africa” (penyatuan hukum pribumi dan hukum non pribumi).
         Pembaruan hukum manapun sangat tergantung pada di terimanya hukum itu di tingkat rakyat jelata, tempat di mana volume utama lalu-lintas hukum berlangsung. Namun justru pada tingkat rakyat jelata ini jugalah, perbedaan-perbedaan antar wilayah dan antar lokalitas paling menonjol. Bila perubahan-perubahan di paksakan dari atas untuk mencapai keseragaman yang lebih besar, justru kemungkinannya akan cenderung mengganggu jalinan-jalinan social, dan malah merintangi dan bukan memacu usaha ekonomik dan pembangunan oleh rakyat sendiri. Namun bagaimanapun diperbaruinya dan lebih diseragamkannya hukum yang diterapkan oleh petugas hukum yang baru yang lambat-laun dilatih secara lebih profesional di negara-negara baru tersebut terdapat suatu bahaya yang nyata bahwa jurang di antara hukum positif dan hukum yang hidup akan justru lebih menjadi melebur lagi.
         Di Afrika Timur sering terjadi berturut-turut hukum dan pengadilan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berperkara seperti juga oleh para penegak hukum, untuk tujuan lain selain keadilan. Masalah keterasingan ini di perburuk oleh kenyataan, bahwa, dalam banyak kasus, penegak hukum lokal tradisional (kepala kampong, kepala suku, sesepuh keluarga atau desa) tidak lagi diakui secara resmi sebagai bagian dari struktur pengadilan yang ada (dalam sebagian besar komunitas urban yang relative akhir-akhir ini saja baru dikembangkan, tentu saja,peran tersebut belum pernah mengukur secara efektif).
         Bahwa pada tingkat rakyat jelata srana penyelesaian sengketa terus beroperasi menurut norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima setempat. Tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan dan anti rugi yang dicari. Sementara disini terletak suatu lapangan penelitian yang sekali mengenai hal-hal yang beorientasi pada masalah, yang hampir belum tergali, dan penelitian yang merangsang teori, studinya mestinya meliputi, di satu pihak, suatu telah yang cermat mengenai peranan pengadilan-pengadilan pemerintah dan perangkat-perangkat hukum lainnya, dan dampak actual dari kegiatan mereka dalam semua lapangan penerapan hukum, dan juga suatu penyelidikan yang mendalam mengenai cara-cara lain yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa (tradisional atau non-tradisional), dan jenis-jenis masalah hukum (masalah social) yang cenderung diselesaikan dengan cara yang menghindari jalur-jalur pengkoreksian yang resmi.
         Khususnya di wilayah urban dan dalam situasi social dan ekonomi yang non-tradisional, seharusnya ada suatu penelaahan pelengkap untuk menemukan keteraturan-keteraturan baru dan norma-norma yang sedang berkembang berkenaan dengan perilaku yang diterima secara berakyat dan yang dimaksudkan untuk menghindari sengketa. Hilda dan Leo Kuper, yang mengadakan pembedaan di antara pendekatan-pendekatan unifikasi dari hukum-hukum yang berbeda dengan memperhatikan penekanan pada “law shaping society, or society shaping law” (hukum membentuk masyarakat, atau masyarakat yang membentuk hukum). Karena kesatuan masyarakat sering dinyatakan melalui suatu system hukum yang terunifikasi, maka kesatuan hukum menjadi diaosiasikan dengan kesatuan masyarakat. Salah satu hasil dari suatu unifikasi hukum yang tergesa-gesa mungkin adalah merangsang tumbuhnya beragam kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang.
            Pada umumnya kasus-kasus itu terbagi ke dalam dua kategori: pertama, kasus yang ditangani oleh pengadilan-pengadilan negeri, dan yang kedua adalah kasus-kasus yang jalan keluarnya dicari melalui saluran lain yaitu keputusan peradilan rakyat.salah satu inti masalah yang menghadang mereka adalah bagaiman mengembangkan suatu system hukum yang efektif. Untuk mencapai ini paling tidak seluruh tubuh hukum substantive dan procedural yang hidup (hukum kebiasaan, yang di terima dan yang baru diciptakan) dan cara-cara untuk memajukan “prinsip-prinsip pertumbuhannya” yang hakiki (Cardozo) menuju kematangan yang lebih besar dan integritas social, perlu dipelajari secara kritis dan sistematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar