there is a secret behind the story

there is a secret behind the story

Kamis, 27 Desember 2012

Anak Lahir Diluar Nikah

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan sebelum perkawinan orang tuanya sebelum akad nikah. Dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti melangsungkan perkawinan atau melakukan pengakuan atau pengesahan disalah satu lembaga hukum, maka anak tersebut sah, karena akibat hukum
Anak luar nikah yang diakui dan anak luar kawin yang disahkan. Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya yang mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya, yang telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan.
Hakikat dalam hukum Islam, disebutkan ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai anak. Jadi, status anak yang lahir di luar pernikahan itu menurut hukum Islam adalah anak tidak sah, yang tidak mempunyai hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.
Dengan demikian, agar supaya terhadap anak diluar nikah mempunyai kedudukan atau status hukum maka sangat penting pengakuan dan pengesahan dari orang tuanya. Untuk menjadikan anak tersebut sama (tidak berbeda) dengan anak sah dalam segala hal, utamanya dalam hal kewarisan

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, untuk mengarahkan pembahasan pada sasaran yang dimaksudkan, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat kami petik yaitu:
  1. Bagaimana peristiwa pengakuan atau pengesahan anak di luar kawin, agar mempunyai kedudukan dan status hukum
  2. Apakah setelah adanya pengakuan akan pengesahan anak di luar kawin, posisi atau status  anak tersebut sama dengan anak sah
  3. Bagaimana pandangan Islam masalah anak di luar kawin tersebut ? dan bagaimana menyikapi tentang perbedaan kedua anak ini?

BAB II
PEMBAHASAN

Tinjauan Pustaka
Akibat hukum terhadap pengakuan anak di luar nikah
Suatu perkawinan dimana wanita itu tidak hamil terlebih dahulu karena sesuatu hal, maka berlaku ketentuan. Bahwa apabila seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari, setelah hari pernikahan orang tuanya. Maka orang tuanya berhak menyangkal sahnya anak itu, tapi jika ayahnya mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran, dan turut ditandai tangani olehnya maka dalam hal tersebut ayah dianggap telah menerima dan mengakui anak  yang hadir itu sebagai anaknya sendiri.
Meskipun terhadap anak yang lahir itu telah mendapat pengakuan dari orang tuanya, tapi status anak itu belum dikatakan anak sah menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 24. Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat pengakuan ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting, dari suatu lembaga yang berwewenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari pengakuan orang tuanya tadi, maka status anak tersebut menjadi sama dengan anak sah dalam segala hal.
Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian, dan sebagainya. Maka melalui perwalian dan pengesahan anak ini ditimbulkan hukum perdata baru.
Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil (Viktor, M. Situmorang SH. 19991: 42-43).
Suatu peringatan bahwa dalam lembaga “Pengakuan” anak luar kawin yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang menyakininya.Pengesahan hanya terjadi  dengan perkawinan orang tuanya yang telah mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan. Anak luar kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (Erkening dan Wetting) (Prof. R. Subekti SH. 1993: 19).
Pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa, adalah tanpa guna, kecuali telah mencapai umur 10 tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu, atau bujuk. Suatu pengakuan selama hidup ibunya, tidak akan dapat diterima sebelum itu menyetujuinya, jika anak itu dialami setelah ibunya meninggal maka akibat ada pada bapaknya, dalam hal ini pengakuan akan membuat keterangan dan kebahagiaan anak untuk masa depannya (KUHP, 2006: 65)
Mengakui seorang anak yang lebih duluan perkawinan atau meminta Curatele terhadap ayahnya ia dapat lakukan sendiri tanpa suami, begitu pula kalau hanya memangku jabatan ia harus meminta persetujuan kuasa dahulu dari suaminya, sebab mungkin membawa akibat bagi kekayaan sendiri.
Anak  yang lahir di luar perkawinan “Naturalijk Kind“ diakui/tidak oleh orang tuanya, menurut BW dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjadi hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya, tapi dengan pengakuan (erkening) lahirlah suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mawaris) antara anak dan keluarga yang mengakuinya, tapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga si ayah/ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubugan itu hanya diletakkan dengan “pengesahan” sebagai pelengkap dari pada pengakuan tersebut. Maka dilakukan melalui surat pengesahan (Beriven Van Vetting). Dengan demikian anak di luar kawin tersebut sudah sah menurut Hukum (Prof. Subekti SH. 1982: 30, 50).
Menurut hukum adat apabila isteri melahirkan anak sebagai akibat hubungan gelap dengan laki-laki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang lahir tadi, kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang diterima oleh masyarakat hukum adat. Hukum adat mempunyai berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut.
Yaitu; ada lembaga kawin paksa bagi laki-laki yang menyebabkan kehamilan si wanita, dan terhadapnya dapat dijatuhi hukum adat, apabila tidak dipatuhinya. Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut hukum dengan yang menikahinya, Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya seperti dikatakan  S A Hakim SH di dalam hukum adat perorangan, perkawinan dan pewarisan.
Menurut hukum Islam, anak di luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya tetapi si anak tetap mempunyai ibu yang melahirkannya, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum  dan sama seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak. Hakikat hukum Islam tersebut anak di luar kawin termasuk anak tidak sah. Meskipun orang tuanya telah melakukan pengakuan atau pengesahan tapi karena akibat anak itu lahir di luar perkawinan orang tuanya tetap saja pandangan masyarakat bahwa anak tersebut tidak sah.
Jika kita dari  hukum perdata yang tercantum dalam BW, kita akan melihat adanya tiga tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan:
  1. Anak di luar perkawinan anak itu belum diakui oleh orang tuanya
  2. Anak  di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya
  3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.
Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya, sebagai yang membangkitkannya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta hubungan perdata dengan ayah/keluarga ayahnya (Sodharyo Saimin, SH. 2002 : 39-41)

Analisis
Ada kalanya ibu yang tidak kawin melahirkan anak kalau itu terjadi, maka dalam hubungan hukum seorang anak itu hanya mempunyai ibu, sebagai penerus orang tuanya. Sebagai konsekuensi dari kelahiran anak tersebut. Maka kedua orang tuanya wajib memelihara dan pendidikan anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Dan begitu juga wajib menghormati dan mentaati kehendak mereka.Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan atau pengesahan terhadap anak tersebut karena mereka meninggal di dunia sebelum melakukan hal tersebut. Maka tetap akan tampil sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya, yang telah meninggal dunia. Namun dalam hal kewarisan acapkali terjadi hal-hal yang menyulitkan ahli waris yang sebenarnya, tapi karena adanya pihak ketiga atau pihak hukum yang dapat menemukan titik terang dari masalah ini.
Kemudian untuk status anak tidak sah akan dipersamakan dengan kedudukan anak sah apabila pengakuan/pengesahan dan akan telah dilangsungkan perkawinan oleh kedua orang tuanya, untuk lebih mempermudah akibat-akibat yang akan ditimpalkan oleh anak di luar kawin tersebut. Baik dari segi kewarisan atau karena sebab lain (hubungan keluarga).

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1.      Peristiwa pengakuan anak di luar kawin tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka pencatatan sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut atau dalam akta perkawinan orang tua, atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil, bahkan dibolehkan juga akta notaries, dan bukti-bukti lain yang outentik.
2.      Sebelumnya kita ketahui bahwa anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya dan yang lahir akibat perkawinan sah. Jadi setelah melangsungkan perkawinan kedua orang tua dari anak luar kawin ini maka perkawinan mereka sudah sah.
Dan sebagai akibat hukum orang tua tersebut melakukan pengakuan/pengesahan di suatu lembaga yang berwenang. Secara hukum anak luar kawin itu sama kedudukannya dengan anak sah, karena masing-masing mempunyai akibat hukum dari perkawinan yang sah.
3.      Pada hakikatnya dalam hukum Islam anak di luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh pokoknya (bapak alamnya) anak-anak tersebut mempunyai hubungan hukum  dengan ibunya, dalam artian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan ada
kemungkinan anak lahir hanya mempunyai ibu dan tidak bapak, status anak ini tidak sah menurut hukum Islam karena tidak mempunyai hubungan hukum dengan orang  tuanya. Pandangan Islam dari segi perbedaan anak di luar kawin hanya dapat mewarisi dari ibunya saja. Anak sah, mereka dapat mewarisi dari kedua orang tuanya.

Paradigma Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah pesat, sejalan dengan kemajuan zaman, begitu pula dengan cara berpikir masyarakat yang cenderung menyukai hal-hal yang dinamis. Semakin banyak penemuan-penemuan atau penelitian yang dilakukan oleh manusia, tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan-kelemahan didalamnya, maka dari itu dari apa yang telah diciptakan atau diperoleh dari penelitian tersebut ada baiknya berdasar pada nilai-nilai yang menjadi tolak ukur kesetaraan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu sila Pancasila.
Dengan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, apapun yang diperoleh manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara indonesia guna melaksanakan pembangunan nasional, reformasi, dan pendidikan pada khususnya.
2.      Rumusan Masalah
Peranan Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
3.      Batasan Masalah
Disini akan dibahas tentang penjabaran paradigma, Pancasila sebagai paradigma pembangunan, reformasi, dan penerapan Pancasila khususnya di ruang lingkup akademik.

BAB II
PARADIGMA PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
A.    Pengertian Paradigma
Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul“The Structure Of Scientific Revolution”,paradigma adalah suatu asumsi-asumsidasar dan teoritis yang umum (merupakansuatusumbernilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam ilmu-ilmu social manakala suatu teori yang didasarkan pada suatu hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada metode kuantitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari obyek ilmu pengetahuanya itu manusia. Dalam masalah yang popular istilah paradigm berkembang menjadi terminology yang mengandung konotasi pengertian sumbernilai, kerangkapikir, orientasidasar, sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta prosesdari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan & pendidikan.
B.     Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan negara hukum formal, adapun rumusan “Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan negara hukum material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigm pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila. Karena nilai-nilai Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis manusia sebagai subyek pendukung Pancasila sekaligus sebagai subyek pendukung negara. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia terdiri makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan YME.
1.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Politik dan Hukum
Politik sangat berperan penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, karena sistem politik negara harus berdasarkan hak dasar kemanusiaan, atau yang lebih dikenal dengan hak asasi manusia. Sehingga sistem politik negara pancasila mampu memberikan dasar-dasar moral, diharapakan supaya para elit politik dan penyelenggaranya memiliki budi pekerti yang luhur, dan berpegang pada cita-cita moral rakyat yang luhur. Sebagai warga negara indonesia manusia harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik, bukan sekedar objek politik yang diharapkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena Pancasila sebagai paradigma dalam berpolitik, maka sistem politik di indonesia berasaskan demokrasi, bukan otoriter. Berdasar pada hal diatas, pengembangan politik di indonesia harus berlandaskan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan, apabila pelaku politik baik warga negara maupun penyelenggaranya berkembang atas dasar moral tersebut maka akan menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral yang baik.
2.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Ekonomi
Sesuai dengan Paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi, maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mandasarkan pada moralitas ketuhanan, dan kemanusiaan. Hal ini untuk menghindari adanya pengembangan ekonomi yang cenderung mengarah pada persaingan bebas, yaitu yang terkuat dialah yang akan menang, seperti yang pernah terjadi pada abad ke-18, yaitu tumbuhnya perekonomian kapitalis. Dengan adanya kejadian pada abad ke-18 tersebut, maka eropa pada awal abad ke-19 bereaksi untuk merubah perkembangan ekonomi tersebut menjadi sosialisme komunisme, yang berjuang untuk nasib rakyat proletar yang sebelumnya ditindas oleh kaum kapitalis. Ekonomi yang humanistik mendasarkan pada tujuan demi mensejahterakan rakyat luas, sistem ekonomi ini di kembangkan oleh mubyarto, yang tidak hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa. Tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera, oleh sebab itu kita harus menghindarkan diri dari persaingan bebas, monopoli dan yang lainnya yang berakibat pada penderitaan manusia dan penindasan atas manusia satu dengan lainnya.
3.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan HANKAM
Salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya terletak pada penyelenggara negara semata, akan tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem partahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Maka dari itu pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminya hak-hak asasi manusia. Dengan adanya tujuan tersebut maka pertahanan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, guna mencapai tujuan yaitu demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan YME (sila II), Pancasila juga harus mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga sebagai warga negara (Sila III), pertahanan keamanan harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (sila IV) dan akhirnya pertahanan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan keadilan dalam hidup masyarakat atau terwujudnya suatu keadilan sosial, dan diharapkan negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan sehingga mengakibatkan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
4.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila berdasar pada hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, yang diharapkan menghasilkan manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam rangka melakukan reformasi disegala bidang, hendaknya indonesia berdasar pada sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa indonesia itu sendiri yaitu nilai pancasila yang merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi khususnya dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka kesadaran pancasila dapat merupakan dorongan untuk :
1.         Universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur
2.         Transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan   kebebasan spiritual (koentowijoyo,1986)
Dengan demikian proses humanisasi universal akan dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok sosial tertentu yang diharapkan mampu menciptakan sistem sosial budaya yang beradab. Berdasar sila Persatuan Indonesia pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Pengakuan serta penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa sangat diperlukan sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa, dengan demikian pembangunan sosial budaya tidak akan menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
5.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika). Tujuan yang esensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia dengan sekitarnya. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus bersifat beradab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral. Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mendasari pengembangan Iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan Iptek juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan ilmuwan lainnya. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya.
6.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mengalami adanya suatu kemunduran, yaitu kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. hal ini dapat kita lihat adanya suatu kenyataan banyak terjadinya konflik sosial pada masalah-masalah SARA, terutama pada masalah agama, sebagai contoh tragedi di Ambon, Poso, Medan, Mataram, Kupang, dan masih banyak lagi daerah yang lain yang terlihat semakin melemahnya toleransi dalam kehidupan beragama sehingga menyimpang dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa untuk dapat hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Sebagai makhluk Tuhan YME manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan YME dimanapun mereka hidup. Akan tetapi Tuhan menghendaki kehidupan manusia yang penuh kedamaian dengan hidup berdampingan, saling menghormati, meskipun Tuhan menciptakan adanya perbedaan, berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok, baik sosial, politik, budaya maupun etnis tidak lain untuk kehidupan yang damai berdasar pada kemanusiaan.
Dalam Pokok Pikiran IV, negara menegaskan bahwa, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hal ini berarti bahwa kehidupan dalam negara berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, dengan memberikan kebebasan atas kehidupan beragama atau dengan menjamin atas demokrasi dibidang agama. Setiap agama memiliki dasar-dasar ajaran yang sesuai dengan keyakinan masing-masing dengan mendasarkan pergaulan kehidupan dalam beragama atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berdasar bahwa pemeluk agama adalah bagian dari umat manusia di dunia. Maka sudah seharusnya negara Indonesia mengembangkan kehidupan beragama ke arah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasar pada nilai kemanusiaan yang beradab.
C.    Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab. Pada hakikatnya reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma reformasi total tersebut.

Hukum Ditaati Orang


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Ditaati Orang
1.      Menurut Utrecht (Pengantar Dalam hukum Indonesia halaman 42) orang menaati hukum, karena bermacam-macam sebab:
a.       Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum
b.      Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman.
c.       Karena masyarakat menghendakinya
d.      Karena adanya paksaan (sanksi) sosial
2.      Hukum ditaati orang karena hukum itu bersifat memaksa
Hal ini dapat ditinjau dari batasan-batasan yangdikemukakan oleh beberapa Sarjana Hukum seperti:
a.       Hukum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat (Prof. Dr. P. Borst)
b.      Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat (Prof. Dr. Van Kan)
c.       Perintah yang berarti bahwa hokum mempunyai sifat memaksa (Prof. Paul Scholten)
Sanksi hukuman dikemukakan (Marhainis 1981:40) :
a.    Seorang tidak akan membunuh karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid)
b.    Sepasang muda mudi tidak akan hidup bersama tanpa nikah secra resmi
c.    Seorang nasabah akan membayar pinjaman pokok dan bunga pada waktunya
d.   Seorang penarik cek yang dananya tidak cukup atau kosong pada bank, akan menerima sanksi kehilangan kepercayaan dari partner usahanya dan akan hancur kegiatan usahanya
3.      Beberapa teori dan aliran yang menyebabkan mengapa hukum ditaati orang
a.     Mahzab Hukum Alam atau Hukum Kodrat
1)      Ajaran hokum alam Aristoteles
2)      Ajaran hokum alam Thomas Aquino
3)      Ajaran hokum alam Hugo de Groot (Grotius)
4)      Ajaran hokum alam Rudolf Stammler
b.    Mahzab Sejarah
c.     Teori Theokrasi
d.    Teori Kedaulatan Rakyat (Perjanjian Masyarakat)
e.     Teori Kedaulatan Negara
f.     Teori Kedaulatan Hukum

Kedaulatan rakyat berhubungan erat dengan pengertian perjanjian masyarakat dalam pembentukan asal mula negara. Negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Perjanjian masyarakat disebut juga dengan istilah kontrak sosial. Ada beberapa ahli yang telah mempelajari kontrak sosial, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jaques Rousseau. Kedaulatan rakyat mengandung arti, bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat membawa konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Pengertian kedaulatan rakyat berhubungan erat dengan pengertian perjanjian masyarakat dalam pembentukan asal mula negara. Negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Perjanjian masyarakat disebut juga dengan istilah kontrak sosial. Ada beberapa ahli yang telah mempelajari kontrak sosial, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jaques Rousseau.Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat.  Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.
Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan dan pemegang kedaulatan suatu negara setelah revolusi Perancis dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik) membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure. Kedaulatan rakyat mengandung arti, bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya de-ngan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat membawa konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B.     Peran Lembaga Negara
UUD 1945 Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 (2) menyatakan, bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia ialah rakyat. Pelaksanaan ke-daulatan ditentukan menurut Undang-Undang Dasar. Pelaksana kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Yudisial. Pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 inilah sebagai sistem peme-rintahan Indonesia. Dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Penjelasan pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 diuraikan lebih lanjut di bawah ini. UUD 1945 menentukan, bahwa rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatan yang dimilikinya. Keterlibatan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan dalam UUD 1945 ditentukan dalam hal:
a.    Mengisi keanggotaan MPR, karena anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 (1)).
b.   Mengisi keanggotaan DPR melalui pemilihan umum (Pasal 19 (1)).
c.    Mengisi keanggotaan DPD (Pasal 22 C (1)).
d.   Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pa-sangan secara langsung (Pasal 6 A (1)).
Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Yudisial.
C.      Sikap Positif Terhadap Kedaulatan Rakyat
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan merdeka. Sedangkan menurut Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2008 tetang Partai Politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memper- juangkan dan membela kepentingan politik anggota, ma- syarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan “penggabungan kepentingan” (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan “perumusan kepentingan” (interest articulation). Melalui pemilihan seperti itulah akan dibentuk lembaga-lembaga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu lembaga negara yang dibentuk dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah DPRD.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.         Kedaulatan rakyat membawa konsekuensi, rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. UUD 1945 menyatakan, bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
2.      Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia ialah rakyat. Pelaksana kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.
3.      Pelaksanaan pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 tersebut dikenal dengan sistem pemerintahan Indonesia.
Dalam membangun sikap positif terhadap kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan Indonesia antara lain dapat dilakukan dengan mengenal partai-partai politik, menghargai hasil pemilihan umum, dan menghormati ke¬beradaan lembaga-lembaga negara.